Baca | Download | Bagikan

Recent Post

    Recent Comment

    Rabu, 18 Oktober 2017

    Review buku “Peirce’s Theory of Signs” (Stanford Encyclopedia of Philosophy) Bahasa Indonesia

    Baca Juga

    Review buku “Peirce’s Theory of Signs” (Stanford Encyclopedia of Philosophy) Bahasa Indonesia

    Semiotika atau ilmu tanda mengandaikan serangkaian asumsi dan konsep yang memungkinkan kita untuk menganalisis sistem simbolik dengan cara sistematis. Meski semiotika mengambil model awal dari bahasa verbal, bahasa verbal hanyalah satu dari sekian banyak sistem tanda yang ada di muka bumi. Kode morse, etiket, matematika, musik, rambu-rambu lalu lintas masuk dalam jangkauan ilmu semiotika. Tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan atau menggambarkan sesuatu yang lain (di dalam benak seseorang yang memikirkan) (Denzin, 2009: 617).

    Bahasa sebagai medium karya sastra  

    merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna sebelum dipergunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa, sedangkan bahasa sebeleum digunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa). Lambang-lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh konvensi masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut itu disebut semiotik (Pradopo, 2007: 121).

    Pada tulisan saya ini, saya akan berusaha menuliskan dan menafsirkan kembali tentang cara pandang semiotik sesuai dengan pemikiran Charles Sanders Peirce. Pola semiotik Pierce ini di rangkum dari buku “Peirce’s Theory of Signs”  yang ditulis oleh T. L. Short dan diterbitkan pada tahun 2007 oleh Cambridge University Press. Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa tujuan dituliskan pemikiran Pierce ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang semitik Pierce, bagi yang tertarik dengan teorinya dan masih mengalami berbagai kekosongan atau beberapa lobang pengetahuan, karena teori suatu teori adalah menyimpan dan membedah berbagai permasalahan yang komplek. Dari latar belakang sampai dengan  penafsiran masa depan tentang peran pemikiran ini diharapkan dapat dikemukakan secara rinci dan mudah dipahami, sehingga pemikiran ini dapat dimanfaatkan bagi pembedah sastra secara khusus dan seni secara umum. Sebagai penegas atau untuk membantu menerangkan isi buku Peirce’s Theory of Signs saya mengambil 2 referensi pendukung yaitu buku Hand Book of Qualitative Research (2009) karya Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, serta buku Pengkajian Puisi (2007) karya Rahmad Djoko Pradopo.

    1. Kelahiran Peirce

    Charles Sanders Peirce lahir tahun 1839 kemudian meninggal 1914, adalah putra  Benjamin Peirce, seorang profesor matematika dan astronomi di Harvard. Benjamin Peirce adalah matematikawan terkemuka Amerika tokoh utama dalam, atau, lebih tepatnya salah satu pencipta pemikiran ilmiah di Amerika. Benjamin Peirce mengakui bahwa Charles Pierce adalah anak yang jenius dan ia membesarkannya dengan tingkat disiplin intelektual dan disiplin moral. Meskipun terlatih dalam kimia, Charles Peirce juga mendalami pentingnya logika matematika  (ia membuat kontribusi penting beberapa teori dan praktek pengukuran). Menurut Pierce dalam tanda-tanda di lingkungan (terutama bahasa tulis) membutuhkan ketelitian pengamatan yang mendetail bukan sekedar definisi spekulatif; Peirce did not entertain the very speculative hypothesis, now in vogue, that there is a language common to all minds – ‘mentalese’ – distinct from the languages people speak (Short, 2007: 4).
    Ketika Pierce memperlakukan tanda-tanda ternyata ia juga terpengaruh oleh Aries Toteles tentang kata-kata tidak lebih dari ide-ide yang biasanya disebut ‘tanda’ baik kata lisan atau tertulis, tanda yang berhubungan dengan tanda atau peristiwa yang lain, suatu tanda dapat memberi arti pada tanda-tanda yang lain. Sekumpulan tanda menyebabkan orang memikirkan sesuatu yang lain. Suatu ketika orang mendengar atau membaca kata ‘gajah’ maka ia berpikir bahwa bukan tentang itu suara atau tulisan g-a-j-a-h, tetapi langsung terbayang mamalia besar berwarna abu-abu. Memang dahulu kala pada tradisi filosofis Aristoteles ketika berbicara tentang kata-kata adalah sebagai tanda-tanda. Selanjutnya jika pikiran adalah dasarnya lisan dan jika kata-kata adalah tanda-tanda, maka pikiran adalah tanda-tanda. And there is a philosophical tradition, going back to Aristotle, of talking about words as being signs. But if thought is essentially verbal and if words are signs, then thoughts are signs (Short, 2007: 5). Tanda-tanda tersebut terus bergerak mendefinisikan tanda yang lain.

    2. Perkembangan Semeiotic Peirce

    Pendefinisian tanda-tanda yang dilakukan Pierce bukan langsung mapan atau matang namun mengalami perjalanan beberapa waktu, terus menerus mengalami revisi dan yang akhirnya melahirkan trikotomi-trikotomi. Dalam buku “Peirce’s Theory of Signs” disebutkan bahwa ketertarikan Pierce tentang tanda dimulai sejak tahun 1865.
    • 1865-1866:     Thoughts as Representations (Dari Pikiran Awal Terciptalah Representasi yang Berkelanjutan)

    Pada usia dua puluh lima, ia menyangkal Kant bahwa ‘representasi’ sebagai terjemahan dari mentalistik  atau roh, representasi adalah bersifat relatif terhadap pikiran ‘yang benar-benar bisa mengerti itu. Oleh karena itu ia menyimpulkan:   ‘Thus our whole world – that which we can comprehend – is a world of representations’, that conclusion was more Kantian than it might have seemed. For it still made the comprehensible world relative to mind. Buteven without that Kantian or mentalistic gloss, the idea that the world is a world of representations is idealistic in spirit and in recent years has come to be called ‘semiotic idealism’ (Short, 2007: 28-29).

    Seluruh dunia yang kita dapat memahaminya adalah dunia dari representasi yang tampak, dunia dipahami relatif terhadap pikiran. Semiotik yang dinyatakan Kant hanya berdasarkan pada mental dan kita akan susah untuk merabanya dengan panca indera. Pierce berusaha menjadikan tanda-tanda adalah sesuatu yang dapat didefinisikan secara lahir bukan hanya tersimpan pada mental. Maka dalam pengertian ini adalah upaya untuk menafsirkan pikiran atau isi mental lainnya sebagai tanda, representasi, atau presentasi. Pikiran orang yang disampaikan kepada kita akhirnya kita memikirkan lagi, itulah yang disebut representasi.

    Selanjutnya Pierce juga mengatakan Signifikansi bukanlah hubungan langsung tanda dan objek, melainkan signifikansi tanda dapat ditemukan di penafsir tersebut. Tanda menandakan objeknya hanya melalui penafsiran tokoh utama, signifikansi bergantung pada pemikiran yang sudah ada. Tokoh utama (penafsir) menengahi antara tanda dan objek. Peirce berbicara tentang penafsir menciptakan sebuah ide, dalam memori seseorang, yaitu pada ‘alamat’ representasi. Dari representasi maka lahirlah signifikansi yang diarahkan di sisi lain yaitu tokoh kedua (penerimanya). Peristiwa ini akan terus berlangsung tanpa berujung.

    • 1867:     The New List (awal ditemukannya konsep tanda triadic)

    Pada masa inilah Pierce mulai menemukan konsep tanda ‘triadic’.  Pada bulan Mei 1867, Peirce menyampaikan sebuah makalah untuk American Academy of Arts dan Sciences,  tentang 3 kategori tanda yang meliput; 1stness kemudian, 2ndness, dan 3rdness. Ia menulis bahwa “masing-masing kategori memiliki karakter untuk membenarkan dirinya dengan pemeriksaan induktif yang akan menghasilkan pemahaman tentang batasan-batasan perkiraan tanda”.

    Dalam makalah tersebut Pierce berusaha menafsirkan ide metafisisnya Kant, namun ia mewajibkan pengurangan-pengurangan definisi yang bersifat abstrak : ‘metaphysical deduction’. Maka yang dilakukan adalah kategori metafisis boleh berlaku di dunia sejauh bisa dialami, diketahui, dan dipahami. ‘New List’ is a, not a keystone’, setelah itu kita masih harus berfikir dan jangan sampai stepping stone (batu loncatanini justru menjadi batu sandungan.
    • 1868-1869Tiga Kesalahan dalam Ajaran  Pemikiran-tanda (ada 3 kesalahan yang       dituduhkan pada Pierce)

    Pada kalangan ilmuwan (filsafat) ada beberapa kritikan yang ditujukan pada konsep semiotik Pierce  yang utama ada tiga masalah: pertama adalah Pierce dianggap memaksakan dan memodifikasi kemudian mendoktrin pikiran orang lain yang menafsirkan tanda, dapat diartikan membatasi pikiran. Setiap insan mempunyai idealis yang mampu berpikirbahkan sampai kemampuan bawah sadar. Tentang bawah sadar dicontohkan bahwa setiap pikiran-tanda menafsirkan tanda sebelumnya dan bahwa semua pemikiran tanda tidak bisa dilepaskan dari konvensi.

    Masalah kedua adalah bahwa, jika makna tanda tergantung pada penafsirnya, maka para interpretants tidak bisa salah. Sebagai tanda menandakan apa yang mereka katakan itu dimaknakan secara sewenang-wenang. Jika subyektivitas terlalu dominan maka proses komunikasi akan mati.

    Masalah ketiga adalah bahwa jika signifikansi tergantung pada interpretants, aktual atau potensial semuanya menjadi tanda-tanda. Kita hanyalah bagian dari perputaran penandaan: circuit of signifikansi. Adapun masalah kesewenang-wenangan adalah pasti bagi tiap indifidu, namun penafsir yang akan merepresentasikan haruslah berusaha menyadari lingkungannya, sehingga presentasinya dapat diterima masyarakat.

    Peirce menjawab tuduhan itu dengan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud melakukan pemaknaan secara sewenang-wenang, Tetapi hasil dari suatu pemikiran dapat dihubungkan dengan dalam representasi oleh pikiran selanjutnya dan konvensi pastilah dapat bergerak. Ia juga menyadari bahwa bahwa makna tidak terkandung dalam sesaat tapi berguna pula bagi masa mendatang seiring lahirnya kebenaran-kebenaran baru.

    Dalam buku “Peirce’s Theory of Signs” juga disebutkan bahwa pikiran Pierce sejalan dengan dekonstruksinya Derida dan pemikiran anarkisme epistemologinya Fayerabend. Derida menjelaskan  “there is a reality beyond play manifests a totalitarian impulse to impose his arbitrary semiotic constructions, tendentiously named ‘reality’, on others. I would suggest, to the contrary, that the denial of unambiguous reference is a perfect cover for someone fearful of facing reality, and that the idea that there is only play invites totalitarianism. For if there is no reality, then there is no reason why one should not impose his vision on the rest of us: ‘One view is as good as another, so I’m going to make you accept mine!’ Truth’s denial leaves a vacuum: the will to power fills it” (Short, 2007: 45). Ada realitas di luar bermain memanifestasikan dorongan totaliter memaksakan konstruksi sewenang-wenang terhadap pemahaman semiotik. Derida menguatkan argumenya, bahwa penolakan referensi yang dianggap sempurna adalah suatu keberanian dalam menghadapi kenyataan. Karena jika tidak ada realitas, maka tidak ada alasan mengapa seseorang tidak harus memaksakan visinya pada kita semua: ‘Satu pandangan sama baiknya dengan yang lain, jadi aku akan membuat Anda menerima pandanganku!’. Penolakan Kebenaran tunggal tersebut dilakukan kemudian mengisinya dengan kreatifitas-kreatifitas yang baru, atau lebih bervariasi.

    Fayerabend adalah tokoh filsafat kontemporer yang menguatkan pola pemikiran Pierce, dalam anarkime epistemologis, dikatakan bahwa anarkisme politis berarti suatu perlawanan terhadap segala bentuk kemapanan (kekuasaan, negara, institusi dan ideologi-ideologi yang menopangnya), dan dengan bijaksana anarkisme epistemologis tidak selalu punya loyalitas ataupun permusuhan terhadap institusi-institusi itu. Dalam posisi seperti itu anarkisme epistemologis tidak juga disebut skeptisisme. Tenang ilmu pengetahuan sebaiknya ilmuan dibiarkan bebas mempelajari sesuatu. Masyarakat juga bebas memilih jenis pengetahuan yang dianutnya dan tidak dipaksakan kepada mereka. Epistemologis tidak segan atau malu mempertahankan suatu pandangan yang dianggap sudah basi. Pierce sepaham dengan filsafat kontemporer dan pemikiran tentang eksistensi setiap keberadaan otak manusia.
    • 1907:     The Last Flaw Corrected

    Pada usia 68 tahun Pierce telah memutuskan tentang kesimpulan dari pemikirannya, akhir dari semiotiknya. Pierce mengatakan bahwa ikon dan indek memang bukan hal mutlak yang harus ditafsirkan, namun ia tetap menganjurkan totalitas dalam menelaah atau mengartikan setiap tanda pada suatu obyek.

    Consider what effects, which might conceivably have practical bearings, we conceive the object of our conception to have. Then our conception of these effects is the whole of our conception of the object (Short, 2007: 58). Pemaknaan menurut Peirce adalah suatu pertimbangkan tentang apa efek yang dibayangkan dari suatu obyek yang mempunyai simbol. Setiap simbol memiliki dasaran praktis: kita sebut sebagai konsepsi pada obyek yang ditelaah segala dampak yang ditimbulkan obyek.  Kemudian disusun konsepsi untuk menerangkan efek; adalah seluruh konsepsi kita tentang objek.

    Pierce mengatakan bahwa ikon dan indek memang bukan hal mutlak yang harus ditafsirkan, namun ia tetap menganjurkan totalitas dalam menelaah atau mengartikan setiap tanda pada suatu obyek. Untuk memahami makna dalam suatu obyek kita tergantung kepada konteks, dalam pikiran kita otomatis akan terbayang suatu konteks yang mengelilingi obyek tersebut. Pemaknaan sangatlah luas dan tidak ada pemaknaan tunggal;  maksud Peirce adalah untuk menunjukkan konsepsi yang merupakan fungsi dari pengetahuan,

    bahwa makna tak habis-habisnya, dan bahwa penjelasan yang tidak pernah selesai. Pemaknaan akan terus berjalan atau berkelanjutan sesuai dengan pengetahuan masyarakat, Sebagai konsep adalah tanda-tanda, yang konsisten dengan doktrin semeiotic awal bahwa tanda-tanda yang harus ditafsirkan oleh tanda-tanda, jumlah tanda-tanda bisa berkembang atau saling berhubungan. Jadi seorang peneliti atau penelaah makna-makna tidak ada yang bisa dikatakan sebagai penemu makna yang nomor satu.

    The real and living logical conclusion is that habit; the verbal formulation merely expresses it. . . . The concept which is a logical interpretant is only imperfectly so. It partakes somewhat of the nature of a verbal definition, and is very inferior to the living definition that grows up in the habit  [(5.491) dalam Short, 2007: 57].

    Kesimpulan dari suatu penafsiran terhadap makna sebuah obyek haruslah dicari pemaknaan yang paling logis, peaknaan logis tersebut yang sementara dianggap paling sempurna. Seiring pendefinisian terhadap segala  aspek kehidupan manusia yang terus berjalan atau berkembang maka akan selalu didapatkan mekna-makna baru, meskipun secara verbal makna telah ada sebelumnya.  Pada tahun 1907 inilah Peirce menyebutkan tentang lingkaran hermeniutik yaitu kata-kata terus meneruskan  menafsirkan kata-kata dan pikiran terus-menerus menafsirkan pikiran. Hal ini terjadi melalui media yang ada: bahwa kata-kata dan pikiran berhubungan dengan dunia luar diri mereka sendiri dan mendapatkan benda atau sekitar mana mereka berada.
    3. A Taxonomy of Signs
    Peirce terkenal dengan penyebutan jenis tanda yang meliputi: ikon, indeks, simbol. Sejak awal pemikirannya Pierce selalu konsisten dengan pencarian tentang tanda itu sendiri dibagi triadically, sebagai monadik, diadik, atau triadic. Demikian juga tentang tanda dalam kaitannya dengan objeknya adalah dibagi triadically, dan begitu juga, apa itu dalam kaitannya dengan penafsir yang demikian dibagi. Setiap tanda akan menjadi milik masing-masing dari masing-masing tiga triad. Prinsip-prinsip Pierce mensyaratkan larangan terhadap kombinasi tanda, karena pada sampai tahapan berikutnya akan ditemukan karakter dari masing-masih tanda sesuai dengan posisinya. Seperi pernyataan Peirce sebagai berikut: The principles and analogies of Phenomenology enable us to describe, in a distant way, what the divisions of triadic relations must be. But until we have met with their different kinds a posteriori, and have in that way been led to recognize their importance, the a priori descriptions mean little; – not nothing at all, but little. Even after we seem to identify the varieties called for a priori with varieties which the experience of reflection leads us to think important, no slight labor is required to make sure that the divisions we have found a posteriori are precisely those that have been predicted a priori. In most cases, we find that they are not precisely identical, owing to the narrowness of our reflectional experience. It is only after much further arduous analysis that we are finally able to place in the system the conceptions to which experience has led us [(EP2:289) dalam Short, 2007: 207-208].

    Prinsip-prinsip dan analogi dari Fenomenologi memungkinkan kita untuk menggambarkan, dengan cara yang luas, tentang tiap hubungan pada konseptriadic. Dalam kebanyakan kasus, kita menemukan bahwa penafsiran dari suatu simbol atau tanda tidak selalu sama/tepat atau mempunyai kemiripan pada tiap pengamat, hal itu bisa disebabkan oleh sempitnya pengalaman atau refleksi tiap pengamat/penelaah, sehingga bisa lahir variasi yang banyak. Namun setelah dilakukan analisa secara lebih jauh dan sulit kita akhirnya mampu menempatkan dalam sistem pada konsepsi yang bisa diterima masyarakat, terutama masyarakat akademik (meskipun seharusnya bisa masyarakat secara umum baik akademis, seniman, maupun masyarakat dari berbagai bidang profesi).

    1. Qualisign, Sinsign, Legisign

    A Qualisign is a quality which is a sign. It cannot actually act as a sign until it is embodied; but the embodiment has nothing to do with its character as a sign.

    A Sinsign (where the syllable sin is taken as meaning ‘being only once’, as in single, simple, Latin semel, etc.) is an actual existent thing or event which is a sign. It can be so only through its qualities; so that it involves a qualisign, or rather, several qualisigns. But these qualisigns are of a peculiar kind and only form a sign through being actually embodied.

    A Legisign is a law that is a sign. This law is usually established by men. Every conventional sign is a legisign. It is not a single object, but a general type which, it has been agreed, shall be significant. Every legisign signifies through an instance of its application, which may be termed a Replica of it. Thus, the word ‘the’ will usually occur from fifteen to twenty-five times on a page. It is in all these occurrences one and the same word, the same legisign. Each single instance is a replica. The replica is a sinsign. Thus, every legisign requires sinsigns. But these are not ordinary sinsigns, such as are peculiar occurrences that are regarded as significant. Nor would the replica be significant if it were not for the law which renders it so [(EP2:291) dalam Short,2007:209 ].

    Qualisign adalah kualitas tanda. Hal ini tidak bisa benar-benar bertindak sebagai tanda sampai diwujudkan, tetapi perwujudan tidak ada hubungannya dengan karakter sebagai tanda. Qualisign merupakan  sesuatu yang mempunyai kulalitas untuk menjadi tanda. Ia belum  berfungsi sebagai tanda sampai ia terbentuk sebagai tanda. Qualisign dapat menjadi tanda bila Qualisign memperoleh bentuk. Saya contohkan warna pitih dapat menjadi tanda ketika berfungsi pada bendera putih, atau hati yang putih, seragam putih dan sebagainya. Warna putih pada awalnya adalah belum  berfungsi sebagai tanda.

    Sinsign adalah sesuatu yang sudah terbentuk tetapi belum berfungsi sebagai tanda. Misalnya bendera putih tidak berarti apa-apa ketika masih disimpan oleh tentara yang berperang, namun berfungsi sebagai tanda ketika dikibarkan di muka musuhnya. Sigsign dapat terbentuk dari beberapa qualisign.

    Legisign adalah hukum yang merupakan tanda. Hukum yang dibentuk oleh para tokoh penentu kebijagan, atau yang berpengaruh di masyarakat. Tanda dalam bahasa tersusun berkat adanya tatabahasa. Setiap tanda konvensional adalah sebuah legisign. Ini bukan satu objek, tetapi tipe yang umum, telah disepakati, akan menjadi signifikan.  Sehingga tanda bahasa yang merupakan legisign adalah bahasa yang merupakan kode yang disepakati oleh masyarakat (konvensi).
    2. Icon, Index, Symbol          

    An Icon is a sign which refers to the Object it denotes merely by virtue of characters of its own which it possesses, just the same, whether any such Object exists or not’ [ (EP2:291) dalam Short,2007:215]. Icon adalah sebuah tanda yang mengacu pada Obyek itu menunjukkan hanya berdasarkan karakter sendiri yang dimilikinya, sama saja, apakah ada seperti obyek ada atau tidak.

    Peirce mendefinisikan indeks adalah:  A sign . . . which refers to its object not so much because of any similarity . . . nor [by association] . . . as because it is in dynamical (including spatial) connection both with the individual object, on the one hand, and with the senses or the memory of the person for whom it serves as a sign, on the other  [(2.305) dalam Short,2007:219]. Peirce mendefinisikan indeks adalah: Sebuah tanda. . . yang mengacu pada objeknya tidak begitu banyak karena kesamaan apapun. . . atau [oleh asosiasi]. . . seperti karena dalam dinamis (termasuk ruang) koneksi baik dengan objek individu, di satu sisi, dan dengan indra atau memori dari orang untuk siapa itu berfungsi sebagai tanda, di sisi lain.

    A Symbol is a Representamen whose Representative character consists precisely in its being a rule that will determine its Interpretant. A Symbol is a sign which refers to the Object that it denotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the Symbol to be interpreted as referring to that Object [(EP2:292) dalam Short,2007:220].

    Pradopo (1987) juga menyebutkan bahwa semiotik Pierce terdiri dari 3 karakter tanda: berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok yaitu ikon, indeks dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara petanda dan penanda bersifat persamaan bentuk alamiah. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan penanda dan petanda adalah hubungan alamiah yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat. Simbol adalah tanda yang hubungan petanda dan petanda tidak bersifat alamiah. Hubungan yang terjadi adalah semau-maunya, hubungan terjadi berdasarkan perjanjian  (konvensi) dalam masyarakat. Sebuah sistem tanda yang utama yang menggunakan lambang adalah bahasa. Arti simbol ditentukan oleh perjanjian dalam masyarakat (Pradopo, 2007:121-122).

    Ketika kita menerapkan pemilahan tanda (ikon, indeks, simbol) dalam karya sastra akan banyak kita jumpai indeks dan simbolnya, karena karya sastra sangat erat dengan kreatifitas bahasa, yang merupakan dari pengembangan dari simbol-simbol yang telah ada, atau bahkan memberikan peluang pada setiap ikon-ikon yang telah ada untuk menjadi bermakna luas.
    3. Rheme, Dicisign, Argument

    Pada trikotomi ketiga ini Peirce bermaksud memperdalam atau memperbaiki proposisi analisis atau argumen terdahulu. Trikotomi ketiga ini adalah yang paling benar-benar dieksplorasi oleh sebelumnya, namun memang banyak yang menganggap terlalu sulit atau samar ketika membaca penjelasan Pierce. Ketidakjelasan ini memiliki beberapa penyebab, salah satunya adalah kompleksitas dari topik. Dia berbicara bersamaan dengan sejumlah isu yang sulit, beberapa di antaranya tidak pernah sebelumnya telah dibahas. Beberapa di antaranya sekarang akrab bagi kita, seperti yang yang berkaitan dengan perbedaan antara hukuman dan pernyataan kemudian mana di antara salah satu dari mereka dan apa yang dinyatakan.

    The term or rheme, whether it is an icon, index, or symbol, is simple in function: it functions like an icon, merely bringing something to one’s attention. The dicisign, by contrast, presents itself as indexically related to the object it portrays,10 and it has that doubleness of function, referring and portraying, even if it is quite simple in itself (Short,2007:233). Istilah Rheme secara sederhana berfungsi seperti ikon, namun membutuhkan pengamatan yang lebih mendalam dan perlu dilakukan penambahan penekanan). Dicisign menyajikan dirinya seperti indeks yaitu terkait dengan obyek itu menggambarkan tentang sebab akibat, namun kemungkinan penyebab suatu tanda bisa dipandang secara lebih luas.

    Rheme adalah tanda yang tidak benar atau tidak salah, rheme merupakan tanda pengganti atau sederhana. Ia merupakan tanda kemungkinan kualitatif yang menggambarkan semacam kemungkinan objek. Dicisign merupakan tanda yang mempunyai eksistensi yang aktual, maksudnya adalah tanda dapat memberikan informasi meski tidak menjelaska. Argument adalah sebuah tanda hukum yakni sebuah hukum yang menyatakan bahwa perjalanan premis untuk mencapai kesimpulan dan biasanya dapat menghasilkan sebuah kebenar.

    DATA PUSTAKA Review buku “Peirce’s Theory of Signs” (Stanford Encyclopedia of Philosophy) Bahasa Indonesia

    Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln.2009.Hand Book of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
    Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
    Short ,T. L. 2007.Peirce’s Theory of Signs. New York: Cambridge University Press.

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar